Amanat Undang – Undang, Bupati Wajib Melantik Wali Nagari Terpilih

  • Bagikan

Dharmasraya |Shootlinenews.com – Pelaksanaan Pilwana telah menyisakan berbagai persoalan baik yang berkaitan dengan proses maupun hasil pemilihan, yang bila terus dibiarkan akan menjadi konflik Horizontal di Masyarakat. Sehingga perlu penataan kembali dalam proses penyelesaian sengketa pelanggaran pemilihan Wali Nagari/ Pemilihan Kepala Desa dalam Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa.

Dalam UU nomor 6 tahun 2014 Tentang desa hanya satu Pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa Pilwana/pilkades yaitu tertuang dalam Pasal 37 ayat 6, dimana Pasal tersebut menentukan Penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Bupati/Wali Kota “dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihak kepala desa, Bupati/Wali Kota Wajib menyelesaikan perselisihan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 5”.

Pasal 5 yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat 6 tersebut adalah bahwa Bupati/Wali Kota mengesahkan calon Kepala Desa/Wali Nagari sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 37 ayat 3 menjadi kepala desa paling lama 30 hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemihan dari panitia pemilihan Kepala Desa/Wali Nagari dalam bentuk keputusan Bupati/Wali Kota.

Sehubugan telah terjadinya demo dengan tema mosi tidak percaya kepada pemerintah kabupaten Dharmasraya yg dilakukan oleh sebagian warga nagari IV Koto Pulau Punjung, kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, merupakan bentuk kekecewaan masyarakat rerhadap tahapan dan mekanisme Pilwana serentak tahun 2022, hal demikian sah-sah saja dilakukan karena merupakan hak konstitusional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 dan Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 45 UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Terkait dengan indikasi kecurangan yang dilakukan oleh salah satu calon dan bagaimana kosekuensi hukumnya andaikan kecurangan tersebut dilakukan oleh salah satu calon tersebut, tentu harus ada regulasinya terlebih dahulu yang mengatur sehingga jelas jalan mana yang akan ditempuh ketika terjadi kecurangan dalam Pilwana tersebut.

Sampai hari ini, aturan terkait dengan sengketa Pilwana/Pilkades tidak diatur secara signifikan dalam uu nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, begitu juga aturan lain dibawahnya, sehingga tidak ada dasar sebagai acuan bagi warga negara ketika terjadi kecurangan dalam Pemilihan Wali Nagari/ Pemilihan Kepala Desa.

Poin penting dalam pasal 37 UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa tersebut adalah dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Wali Kota Wajib menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 hari sejak Panitia Pemilihan Desa/ Panitia Pemilihan Nagari menetapkan Kepala Desa/Wali Nagari terpilih.

Kalau dicerna dalam Pasal 37 UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang mengamanatkan Bupati/Wali Kota sebagai orang yang bertanggung jawab atas Perselisihan Hasil Pilwana, tentu akan menjadi buah simala kama bagi Bupati/Wali Kota itu sendiri, karena dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilwana tersebut Bupati/Wali Kota juga tidak ada regulasi sebagai bahan acuan. Ini memang kondisi yg tidak mengenakan bagi Bupati/Wali Kota, ketika Bupati melakukan Penundaan Pelantikan terhadap Wali Nagari terpilih, tentu pihak yang menang akan merasa kecewa atas keputusan bupati tersebut, jika dilakukan pelantikan terhadap Wali Nagari terpilih, tentu pihak yang kalah atau yang menganggap telah dicurangi tersebut akan kecewa dan melakukan demo mosi tidak percaya terhadap pemerintah daerah.

Dalam hal ini seharusnya Wali Nagari Terpilih tetap harus dilantik berdasarkan keputusan Bupati/Wali Kota sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 6 Tahun 2014 karena tidak ada dasar sebagai acuan oleh Bupati/Wali Kota untuk tidak melantik Wali Nagari Terpilih. Nah setelah dilantik, baru nanti pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan Bupati/Wali Kota tersebut mengajukan Gugatan Ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait dengan Pembatalan Keputusan Bupati/Wali Kota yang telah merugikan salah satu pihak.

Sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 10 UU No 51 tahun 2009 menjelaskan bahwa “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata debgan badan atau Pejabat Negara, baik dipusat ataupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Lalu siapa yang harus dipersalahkan dalam hal Perselisihan atau sengketa Pilwana yang terjadi di Kabupaten Dharmasraya ini? …yang jelas bukan Bupati Dharmasraya yang patut dipersalahkan, karena Bupati telah menjalankan amanat Undang-undang sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 37 ayat 5 dan 6 UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Seperti yang saya sampaikan diatas, adanya kekosongan hukum dalam hal Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Wali Nagari/ Kepala Desa sehingga telah menyisakan berbagai persoalan ditengah masyarakat, karena regulasi tida ada yang mengatur tentang mekanisme dan bentuk kecurangan dan apa kosekuensi dari kecurangan dalam Pemilihan Wali Nagari/Kepala Desa tersebut.

Penyelesaian Sengketa Pemilihan Wali Nagari/Kepala desa tidak sama halnya dengan Pemilihan Legislatif dan Eksekutif yang sudah jelas payung hukumnya yaitu UU No 7 Tahun 2017 tantang Pemilihan Umum.

Seharusnya, karena Pemilihan Wali Nagari/Kepala Desa dipilih lansung oleh Masyarakat, sehingga harus ada aturan tersendiri terkait dengan penyelesaian sengketa dalam Pemilihan Wali Nagari/ Kepala Desa sebagai bentuk Payung Hukum yang dapat dipedomani ketika kecurangan dalam Pemilihan Wali Nagari/Kepala Desa tersebut terjadi.

Di Tulis Oleh :

Lukman Firnando Putra, S.H.,M.H.
Akademisi dan Praktisi Hukum.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *