Oleh: Fatimah Az-Zahra | (Sekretaris Menteri Politik dan Kajian Aksi Strategis DEMA UIN Imam Bonjol Padang)
Kampus idealnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk tumbuh, bertukar pikiran, dan mengasah nalar kritis. Di ruang itulah potensi akademik maupun non-akademik seharusnya berkembang tanpa intimidasi. Namun, realitas yang masih kita jumpai hingga hari ini sungguh ironis: praktik perpeloncoan berkedok perkaderan tetap berlangsung, terutama di tingkat himpunan mahasiswa program studi (HMPS) maupun unit kegiatan mahasiswa (UKM).
Alih-alih membentuk mental tangguh, praktik ini justru menciptakan luka batin, trauma, bahkan tidak jarang memutus langkah mahasiswa baru dari dunia organisasi. Lebih parah lagi, sejarah mencatat ada korban jiwa akibat perpeloncoan—sebuah ironi di tengah cita-cita pendidikan tinggi yang seharusnya membebaskan.
Jejak Kolonial yang Tak Kunjung Pupus
Perpeloncoan bukan hal baru. Akar praktik ini dapat ditelusuri sejak masa kolonial Belanda melalui tradisi ontgroening, istilah yang berarti “menghilangkan warna hijau.” Mahasiswa baru diperlakukan sebagai “hijau” atau belum berpengalaman, lalu “ditempa” dengan cara-cara keras. Tujuannya—katanya—untuk mendewasakan, padahal lebih sering berupa penghinaan.
Pada masa pendudukan Jepang, istilah “perpeloncoan” lahir dari kata Jawa pelonco yang berarti kepala gundul. Sejak itu, praktik ini terus berevolusi: dari OSPEK, MOS, hingga kini bertransformasi menjadi MPLS atau Diklatsar. Nama boleh berganti, tapi praktiknya tetap sama—kekerasan yang dibungkus dalih pembentukan mental.
Bahkan tokoh sekaliber Soe Hok Gie pernah menjadi korban. Dalam catatan hariannya pada 20 Oktober 1961, ia menulis bagaimana dirinya dan kawan-kawan diplonco: dibentak, tasnya ditendang, dimaki, bahkan diperlakukan seperti binatang. Catatan itu membuktikan bahwa perpeloncoan bukan sekadar kisah sepele, melainkan luka kolektif yang diwariskan lintas generasi.
Kekerasan yang Menyamar Sebagai Solidaritas
Kini, praktik serupa masih bisa kita jumpai di kampus-kampus. Mahasiswa baru disuruh membawa sepatu di leher, duduk di lumpur mendengarkan materi, hingga mengalami prank murahan yang berujung tangis. Ada yang sepatu sebelahnya disembunyikan, ada yang diminta berguling-guling di tanah, hingga melewati pos-pos gelap dengan teriakan dan bentakan.
Dalih yang selalu diulang adalah “solidaritas” dan “mentalitas.” Padahal, itu hanya pembenaran semu dari senioritas yang kian usang. Solidaritas sejati tidak lahir dari teriakan, bukan pula dari rasa takut, melainkan dari proses yang membebaskan dan mendukung kreativitas.
Praktik perpeloncoan hanya melestarikan rantai kekerasan: mereka yang pernah menjadi korban cenderung ingin membalas di tahun berikutnya. Maka lahirlah siklus dendam, bukan regenerasi sehat. Organisasi mahasiswa pun kehilangan fungsi edukatifnya, dan kampus gagal menghadirkan iklim akademik yang humanis.
Revolusi Sistem Kaderisasi
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum untuk mengakhiri cara-cara primitif itu. Universitas, pimpinan organisasi mahasiswa, hingga seluruh civitas akademika wajib berbenah. Kaderisasi perlu direvolusi menjadi sistem yang humanis, visioner, serta relevan dengan tantangan zaman.
Senior seharusnya tampil sebagai teladan melalui prestasi, gagasan, dan sikap proaktif—bukan intimidasi. Mahasiswa baru mesti diberi ruang aman untuk belajar kepemimpinan, manajemen diri, serta kepekaan sosial. Dengan pola demikian, organisasi mahasiswa dapat melahirkan insan akademis yang kritis, berdaya, dan peduli pada misi kebangsaan maupun keumatan.
Perpeloncoan hanyalah warisan kolonial yang tidak lagi pantas dipertahankan. Yang dibutuhkan mahasiswa baru bukan bentakan, melainkan bimbingan. Bukan penghinaan, melainkan inspirasi. Kampus harus menjadi taman ilmu, bukan arena trauma.